Kamis, 19 Juni 2008

Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan satu pendekatan yang didapati sesuai dipraktikkan dalam pengajaran dan pembelajaran sains. Dalam pendekatan ini murid dianggap telah mempunyai idea yang tersendiri tentang sesuatu konsep yang belum dipelajari. Idea tersebut mungkin benar atau tidak.

Konstruktivisme melibatkan lima fasa, iaitu:
1. Guru meneroka pengetahuan sedia ada murid pada permulaan sesuatu pelajaran melalui soal jawab atau ujian.
2. Guru menguji idea atau pendirian murid melalui aktiviti yang mencabar idea atau pendiriannya.
3. Guru membimbing murid menstruktur semula idea.
4. Guru memberi peluang kepada murid mengaplikasikan idea baru yang telah diperoleh untuk menguji kesahihannya.
5. Guru membimbing murid membuat refleksi dan perbandingan idea lama dengan idea yang baru diperoleh.


Konstruktivisme dan Dampaknya terhadap Pendidikan

Oleh Paul Suparno

SERING terjadi seorang guru sudah berulang-ulang menjelaskan kepada
muridnya suatu bahan pelajaran, namun murid tersebut salah menangkap.
Fenomena ini menguatkan klaim para penganut filsafat konstruktivisme
yang menekankan bahwa murid telah mengkonstruksi (membentuk) sendiri
pengetahuan mereka.

Para penganut konstruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah
merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan
bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari,
tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek,
pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang
sudah ada disana dan orang tinggal mengambilnya, tetapi merupakan
suatu bentukan terus menerus dari seseorang yang setiap kali
mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru.

Kaum konstruktivis menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu
dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya
melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan,
orang dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati air,
bermain dengan air, mengoperasikan air, orang membentuk pengetahuan
akan air.

Bagi kaum ini, pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah tertentu,
tetapi merupakan suatu proses menjadi. Pengetahuan orang akan "anjing"
misalnya, mulai dibentuk sejak seorang anak berinteraksi dengan
anjing. Pengetahuan ini belum lengkap. Dengan semakin banyak
berinteraksi dengan macam-macam anjing lain, pengertian anak itu
semakin dikembangkan dan menjadi lebih rinci.

Menurut von Glaserfeld, tokoh filsafat konstruktivisme di AS,
pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran
seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang
belum punya pengetahuan (murid). Bahkan bila guru bermaksud untuk
mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada murid, pemindahan itu
harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh murid sendiri dengan
pengalaman mereka.

Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk
proses pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat
dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan
untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain.

Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat
penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan
pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting
untuk dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari
pengalaman-pengalaman khusus lalu dapat melihat kesamaan dan
perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu
pengetahuan. Karena seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu
daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari pengetahuan yang
kita konstruksikan.

Realitas dan kebenaran

Bagi kaum konstruktivis, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis.
Malah secara ekstrem mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti
realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh
disebut suatu realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu
objek. Bettencourt menyatakan memang konstruktivisme tidak bertujuan
mengerti realitas, tetapi lebih mau menekankan bagaimana kita tahu
atau menjadi tahu. Bagi konstruktivisme, realitas hanya ada sejauh
berhubungan dengan pengamat.

Lalu bagaimana dengan soal kebenaran? Bagaimana kita tahu bahwa
pengetahuan yang kita bentuk itu benar? Konstruktivisme meletakkan
kebenaran dari pengetahuan dalam viabilitasnya, yaitu berlakunya
konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Apakah pengetahuan itu
dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam persoalan yang berkaitan.
Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas
kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan ada tarafnya, mulai
dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum.

Yang membatasi konstruksi pengetahuan

Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses
konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang lama, (2) domain
pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Proses dan
hasil konstruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas
konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena
yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan
pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi
pengetahuan kita pula. Dalam bidang pengetahuan alam, misalnya, sangat
jelas peranan pengalaman dan percobaan-percobaan dalam perkembangan
hukum, teori dan konsep-konsep ilmu tersebut. Konsep, gagasan,
gambaran, teori dan lain-lain saling berhubungan satu dengan yang lain
membentuk struktur kognitif seseorang. Oleh Toulmin struktur itu
disebut ekologi konseptual. Orang cenderung untuk menjaga stabilitas
ekologi tersebut dengan setiap kali mencocokkan pengetahuan yang baru
dengan ekologi konseptual di atas. Inilah yang juga dapat menghambat
perkembangan pengetahuan.

Beberapa macam konstruktivisme

Von Glaserfeld membedakan tiga level konstruktivisme dalam kaitan
hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni konstruktivisme radikal,
realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa.

Konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan
dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Bagi kaum radikal,
pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu obyek
yang dibentuk oleh seseorang. Menurut aliran ini kita hanya tahu apa
yang dikonstruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi
kenyataan. Realisme hipotesis memandang pengetahuan sebagai suatu
hypotesis dari suatu struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju
pengetahuan yang sejati yang dekat dengan realitas. Sedangkan
konstruktivisme yang biasa, masih melihat pengetahuan sebagai suatu
gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek.

Dari segi subyek yang membetuk pengetahuan, dapat dibedakan antara
konstruktivisme psikologis personal, sosiokulturalisme, dan
konstruktivisme sosiologis. Yang personal dengan tokohnya Piaget,
menekankan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh seseorang secara
pribadi dalam berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang
dihadapinya. Orang itu sendiri yang membentuk pengetahuan.
Sosiokulturalisme yang ditokohi oleh Vygotsky, menjelaskan bahwa
pengetahuan dibentuk baik secara pribadi tetapi juga oleh interaksi
sosial dan kultural dengan orang-orang yang lebih tahu tentang hal itu
dan lingkungan yang mendukung. Dengan dimasukkannya seseorang dalam
suatu masyarakat ilmiah dan kultur yang sudah punya gagasan tertentu,
maka orang itu membentuk pengetahuannya. Sedangkan konstruktivisme
sosiologis menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat
sosial. Unsur masyarakatlah yang penting, sedang unsur pribadi tidak
diperhatikan.

Dampaknya terhadap pendidikan

Dalam pengertian konstruktivisme, belajar adalah suatu proses
pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dibuat sendiri oleh
pelajar atau orang yang mau mengerti. Orang itulah yang aktif
berpikir, membuat konsep, dan mengambil makna. Guru atau pendidik di
sini hanyalah membantu agar proses konstruksi itu berjalan. Guru bukan
mentransfer pengetahuan sebagai yang sudah tahu, tetapi membantu agar
anak didik membentuk pengetahuannya.

Dalam belajar sistem ini, peran murid diutamakan dan keaktivan murid
untuk membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Semua peralatan, bahan,
lingkungan, dan fasilitas disediakan untuk membantu pembentukan itu.
Murid diberi kesempatan mengungkapkan pemikirannya akan suatu masalah,
tanpa dihambat. Dengan dibiasakan berpikir sendiri dan
mempertanggungjawabkan pemikirannya, murid akan terlatih untuk menjadi
pribadi yang sungguh mengerti, yang kritis, kreatif, dan rational.

Dalam pengertian konstruktivisme, murid tidak dianggap sebagai suatu
tabula rasa yang kosong, yang tidak mengerti apa-apa sebelumnya. Murid
dipahami sebagai subyek yang sudah membawa "pengertian awal" akan
sesuatu sebelum mereka mulai belajar secara formal. Bahkan seorang
murid klas 1 SD pun sudah membawa pengetahuan awal mengenai
macam-macam hal yang dalam tarafnya berlaku untuk memecahkan
persoalan. Pengetahuan awal tersebut, meski kadang sangat naif atau
tidak cocok dengan pengertian para ahli, perlu diterima dan nanti
dibimbing untuk semakin sesuai dengan pemikiran para ahli. Pemikiran
mereka itu meski naif, bukanlah salah; tetapi terbatas berlakunya.

Pihak guru dituntut pengetahuan yang luas dan mendalam, agar dapat
memahami jalan pikiran anak. Guru menantang, mempertajam, dan
menunjukkan apakah jalan pikiran murid benar. Guru tidak mengklaim
bahwa satu-satunya jalan yang benar adalah yang sama dengannya.
Kesalahan pemikiran anak diterima sebagai landasan kemajuan. Bukankah
perkembangan semua ilmu mulai dari kesalahan, demikian tandas para
konstruktivis.

Saya sendiri lebih cenderung bahwa pengetahuan itu dibentuk baik
secara pribadi dan sosial, karena setiap situasi dan lingkungan yang
berbeda dapat mempengaruhi pembentukan pengetahuan seseorang. Dalam
kerangka ini, kegiatan belajar bersama dengan teman, dengan lingkungan
ilmiah dan pusat-pusat ilmiah sangat berperan dan perlu dikembangkan.

* Dr Paul Suparno, M.S.T, dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta,
doktor pendidikan sains dari Boston University, Amerika Serikat.


ALIRAN PERENIALISME
A. Pendahuluan
B. Tempat Asal Aliran Perenialisme Dikembangkan
Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluur yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keapaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme rnemandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebuoayaan dan pendidikan zaman sekarang.
Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme mcmandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) in terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan kemasa lampau.
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan.
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri yang cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat sebagai suatu azas yang komprehensif Perenialisme dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-hasilnya.
C. Tokoh-tokoh Perenialisme
AristotelesFilsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosophia Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Jadi sikap untuk kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
PlatoAsas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham'i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi (Bamadib, 1990: 64-65).
Jadi aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama Katholik atau diluarnya.
D. Pandangan Perenialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.
Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada logika melalui hukum berpikir metode dedduksi, yang merupakan metode filsafat yang menghasilkan kebenaran hakiki, dan tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor dan metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus.
Menurut perenialisme penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Prinsip-prinsip pertama mampu mempunyai penman sedemikian, karena telah memiliki evidensi diri sendiri.
Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal faktor-faktor dengan pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu diselesaikan dan berusaha untuk men gadakan penyelesaian masalahnya. Dengan demikian ia telah mampu mengembangkan suatu paham.
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau.
Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni:
1. Anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lamp au yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar.
2. Mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya­karya tokoi1 terse but untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.
Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya buahpikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran para ahli terse­but dalam bidangnya masing-masing dan dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi diri mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat pereni­alisme tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. ladi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tug as pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pula bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilistis.
Dari ungkapan yang diutarakan oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat pendidikan tinggi itu, jelaslah bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah berdasarkan pada filsafat metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan. Kemudian Robert Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu pada hakikatnya sama, maka perlulah dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua orang, ini disebut pendidikan umum (general education). Melalui kurikulum yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan dengan sifat tiap individu, diharapkan tiap individu itl! terbentuk atas dasar landasan kejiwaan yang sama.
ALIRAN ESENSIALISME
A. Pendahuluan
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. John Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental.
Dengan demikian disini jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan.
Menurut pandangan ini bahwa idealisme modern merupakan suatu ide-ide atau gagasan-gagasan manusia sebagai makhluk yang berpikir, dan semua ide yang dihasilkan diuji dengan sumber yang ada pada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit, serta segala isinya. Dengan menguji dan menyelidiki semua ide serta gagasannya maka manusia akan mencapai suatu kebenaran yang berdasarkan kepada sumber yang ada pada Allah SWT.

B. Tokoh-tokoh Esensialisme
1. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Gambar 6: Georg Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
2. George Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).
C. Tempat Asal Aliran Esensialisme Dikembangkan
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
D. Pandangan Esensialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
1. Pandangan Essensialisme Mengenai Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Pandangan Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera merperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda, lelapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.
Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan di teruskan kepada angkatan berikutnya. Dengan demikian pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas:
1. Determiuisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.
2. Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.
2. Pandangan Essensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Bogoslousky, mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
1. Universum:
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2. Sivilisasi:
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera .
3. Kebudayaan:
Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
4. Kepribadian:
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan ientelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan ideal.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk ini perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian.
Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci. Sedangkan Demihkevich menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi .
Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen at au dasar dari susunannya yang paling kompleks. Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis.
Aliran Progresivisme
A. Pendahuluan
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Dalam pendapat lain, pragmatisme berpendapat bahwa suatu keterangan itu benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi: Ilmu Hayat, bahwa manusia untuk mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya.
B. Tokoh-tokoh Progresivisme
Filsafat pendidikan Progresivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.
1. William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)
Gambar 1: William JamesSeorang psychologist dan seorang filosuf Amerika yang sangat terkenal. Paham dan ajarannya demikian pula kepribadiannya sangat berpengaruh diberbagai negara Eropa dan Amerika. Meskipun demikian dia sangat terkenal dikalangan umum Amerika sebagai penulis yang sangat brilian, dosen serta penceramah dibidang filsafat, juga terkenal sebagai pendiri Pragmatisme. James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku. Buku karangannya yang berjudul Principles of Psychology yang terbit tahun 1890 yang membahas dan mengembangkan ide-ide tersebut, dengan cepat menjadi buku klasik dalam bidang itu, hal inilah yang mengantar William James terkenal sebagai ahli filsafat Pragmatisme dan Empirisme radikal.
2. John Dewey (1859 - 1952)
Gambar 2: John DeweyJohn Dewey adalah seorang profesor di universitas Chicago dan Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child Centered Curiculum", dan "Child Centered School". Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya "My Pedagogical Creed", bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Aplikasi ide Dewey, anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik, baru peminatan.
Salah seorang bapak pendiri filsafat pragmatisme. Dewey mengembangkan pragmatisme dalam bentuknya yang orisinil, tapi meskipun demikian, namanya sering pula dihubungkan terutama sekali dengan versi pemikiran yang disebut instrumentalisme. Adapun ide filsafatnya yang utama, berkisar dalam hubungan dengan problema pendidikan yang konkrit, baik teori maupun praktek. Dan reputasi (nama baik) internasionalnya terletak dalam sumbangan pikirannya terhadap filsafat pendidikan Prugressivisme Amerika. Dewey tidak hanya berpengaruh dalam kalangan ahli filsafat profesional, akan tetapi juga karena perkembangan idenya yang fundamental dalam bidang ekonomi, hukum, antropologi, teori politik dan ilmu jiwa. Dia adalah juru bicara yang sangat terkenal di Amerika Serikat dari cara-cara kehidupan demokratis.
Gambar 3: Charles S. PierceJohn Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).
Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.
3. Hans Vaihinger (1852 - 1933)
Gambar 4: Hans VaihingerMenurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
4. Georges Santayana
Georges digolongkan pada penganut pragmatisme ini. Tapi amat sukar untuk memberikan sifat bagi hasil pemikiran mereka, karena amat banyak pengaruh yang bertentangan dengan apa yang dialaminya.
Gambar 5: Georges Santayana
C. Tempat Asal Aliran Progresivisme Dikembangkan
Progressivisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar abad ke-20. John S. Brubaeher, mengatakan bahwa filsafat progressivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang di perkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1885 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Didalam banyak hal progressivisme identik dengan pragmatisme. Oleh karena itu apabila orang menyebut pragmatisme, maka berarti sama dengan.
Filsafat progressivisme sama dengan pragmatisme. Pertama, filsafat progressivisme atau pragmatisme ini merupakan perwujudan dan ide asal wataknya. Artinya filsafat progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme di mana telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk terus survive (mempertahankan hidupnya) terhadap semua tantangan, dan pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.
Oleh karena itu filsafat progresivisme tidak mengakui kemutlakan kehidupan, menolak absolutisme dan otoriterisme dalam segala bentuknya. Nilai-nilai yang dianut bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan, sebagaimana dikembangkan oleh lmanuel Kant, salah seorang penyumbang pemikir pragmatisme-progresivisme yang meletakkan dasar dengan penghormatan yang bebas atas martabat manusia dan martabat pribadi. Dengan demikian filsafat progresivisme menjunjung tinggi hak asasi individu dan menjunjung tinggi akan nilai demokratis.
Sehingga progresivisme dianggap sebagai The Liberal Road of Cultlire (kebebasan mutlak menuju kearah kebudayaan) maksudnya nilai-nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka (open minded). Dan menuntut pribadi-pribadi penganutnya untuk selalu bersikap penjelajah, peneliti, guna mengembangkan pengalamannya. Mereka harus memiliki sikap terbuka dan berkemauan baik sambil mendengarkan kritik dan ide-ide lawan sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk membuktikan argumen tcrsebut.
Tampak filsafat progresivisme menuntut kepada penganutnya untuk selalu progres (maju) bertindak secara konstruktif, inovatif dan reformatif), aktif serta dinamis. Sebab sudah menjadi naluri manusia selalu menginginkan perubahan-perubahan. Manusia tidak mau hanya menerima satu macam keadaan saja, akan tetapi berkemauan hidupnya tidak sama dengan masa sebelumnya. Untuk mendapatkan perubahan itu manusia harus memiliki pandangan hidup di mana pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu), curious (ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open minded (punya hati terbuka).
Namun demikian filsafat progresivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah manusia, kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir (man's natural powers). Maksudnya adalah manusia sejak lahir telah membawa bakat dan kemampuan (predisposisi) atau potensi (kemampuan) dasar terutama daya akalnya sehingga dengan daya akalnya manusia akan dapat mengatasi segala problematika hidupnya, baik itu tantangan, hambatan, ancaman maupun gangguan yang timbul dari lingkungan hidupnya. Sehubungan dengan itu Wasty Soemanto menyatakan bahwa daya akal sama dengan intelegensi, di mana intelegensi menyangkut kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan-pemecahan masalah. Di sini·tersirat bahwa intelegensi merupakan kemampuan problem solving dalam segala situasi baru atau yang mengandung masalah.
Dengan demikian potensi-potensi yang dimiliki manusia mempunyai kekuatan-kekuatan yang harus dikembangkan dan hal ini menjadi perhatian progresivisme. Nampak bahwa aliran filsafat progresivisme menempatkan manusia sebagai makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pelaku (subyek) di dalam hidupnya.
D. Pandangan Progesivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada abad ke-20, di mana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain, Oleh karena itu filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Adapun filsafat progresivisme memandang tentang kebudayaan bahwa budaya sebagai hasil budi manusia, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Maka pendidikan sebagai usaha manusia yang merupakan refleksi dari kebudayaan itu haruslah sejiwa dengan kebudayaan itu.
Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhimya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik) adalah manusia-manusia yang berkualitas unggul, berkompetitif, insiatif, adaptif dan kreatif sanggup menjawab tantangan zamannya.
Untuk itu sangat diperlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman, di mana apa yang telah diperoleh anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan "Belajar Sambil Berbuat" (Learning by doing) dan pemecahan masalah (Problem solving) dengan langkah-langkah menghadapi problem, mengajukan hipotesa.
Dengan berpijak dari pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progresivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.
Landasan filosofis pembelajaran IPA terpadu ialah filsafat pendidikan Progresivisme yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.
Pembelajaran IPA terpadu merupakan konsep pembelajaran IPA dengan situasi lebih alami dan situasi dunia nyata, serta mendorong siswa membuat hubungan antar cabang IPA dan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari hari. Pembelajaran IPA terpadu merupakan pembelajaran bermakna yang memungkinkan siswa menerapkan konsep-konsep IPA dan berpikir tingkat tinggi dan memungkinkan mendorong siswa peduli dan tanggap terhadap lingkungan dan budayanya.
Dalam pembelajaran IPA hendaknya guru dapat merancang dan mempersiapkan suatu pembelajaran dengan memotivasi awal sehingga dapat menimbulkan suatu pertanyaan. Dengan begitu, guru yang bertugas dapat mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa dalam melaksanakan pembelajaran berdasarkan inkuari. Ciri utama pembelajaran IPA adalah dimulai dengan pertanyaan atau masalah dilanjutkan dengan arahan guru menggali informasi, mengkonfirmasikan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan mengarahkan pada tujuan apa yang belum dan harus diketahui. Jadi terlihat bahwa siswa akan dapat menemukan sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan yang timbul diawal pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh diharapkan tidak dengan jalan mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dengan jalan menemukan dan menggeneralisasi sendiri sebagai hasil kemandiriannya.
Dengan begitu, untuk pembelajaran IPA hendaknya dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang anggotanya heterogen, untuk dapat bekerja sama, saling berinteraksi dan mendiskusikan hasil secara bersama sama, saling menghargai pendapat teman, sampai dapat memutuskan kesimpulan yang disepakati bersama.
1. Asas Belajar
Pandangan mengenai belajar, filsafat progresivisme mempunyai konsep bahwa anak didik mempuyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Kelebihan anak didik memiliki potensi akal dan kecerdasan dengan sifat kreatif dan dinamis, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problemanya.
Seiring dengan pandangan di atas, bahwa filsafat progresivisme mengakui anak didik memiliki potensi akal dan kecerdasan untuk berkembang dan megakui individu atau anak didik pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif dan dinamis dalam menghadapi lingkungannya.
Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses pendidikan tentulah berorientasi kepada sifat dan hakikat anak didik sebagai manusia yang berkembang. Usaha-usaha yang dilakukan adalah bagaimana menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi-motivasi dan stimuli-stimuli sehingga akal dan kecerdasan anak didik dapat difungsikan dan berkembang dengan baik.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Artinya disini sebagai proses pertumbuhan dan proses di mana anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Jadi sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Artinya sekolah adalah bagian dari masyarakat. Untuk itu sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah filsafat progresivisme menghendaki isi pendidikan dengan bentuk belajar "sekolah sambil berbuat" atau learning by doing.
Tegasnya, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui bahwa sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan) akan tetapi sekolah juga berfungsi sebagai transfer of value atau pemindahan nila nilai, sehingga anak menjadi trampil dan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
John Locke (1632-1704) mengemukakan, bahwa sekolah hendaknya ditujukan untuk kepentingan pendidikan anak. Sekolah dan pengajaran hendaknya disesuaikan dengan kepentingan anak (Suparlar 1984: 48). Kemudian Jean Jacques Rosseau (1712-1778), menyataka anak harus dididik sesuai dengan alamnya; jangan dipandang dari sudut orang dewasa. Anak bukan miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak dengan dunianya sendiri, yaitu berlainan sekali dengan alam orang dewasa.
Beranjak dari ketiga pendapat di atas, berarti sekolah sebagai wiyata mandala (lingkungan pendidikan) sebagai wadah pembinaan dalam pendidikan anak-anak didik dalam rangka menumbuh kembangkan segenap potensi-potensi baik itu bakat, minat dan kemampuan-kemampuan lain agar berkembang secara maksimal. Guru sebagai pendidik bertanggung jawab akan tugas pendidikannya. Seluruh aktivitas-aktivitas yang dijalankan guru harus diperuntukkan untuk kepentingan anak didik.
Hal yang harus diperhatikan gura adalah "anak didik bukan manusia dewasa yang kecil" yang dapat diperlakukan sebagaimana layaknya orang dewasa. Guru harus mengetahui tahap-tahap perkembangan anak didik lewat ilmu psikologi pendidikan. Sehingga guru akan dapat mengetahui kapan dan saat bagaimana materi itu diajarkan. Pertolongan pendidikan dilaksanakan selangkah demi selangkah (step by step) sesuai dengan tingkat dan perkembangan psikologis anak.
Di samping itu, anak didik harus diberi kemerdekaan dan kebebasan untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan cara dan kemampuannya masing-masing dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan daya kreasi anak. Untuk itu pendidikan hendaklah yang progresive. Di sini prinsip kebebasan prilaku, di mana anak sebagai subyek pendidikan, sedangkan guru sebagai pelayan siswa.
Wasty Soemanto dalam Psikologi Pendidikan: Landasan Pemimpin Pendidikan, mengutip pendapat John Dewey sebagai berikut:
John Dewey ingin mengubah hambatan dalam demokrasi pendidikan dengan jalan:
1. Memberi kesempatan murid untuk belajar perorangan.
2. Memberi kesempatan murid untuk belajar melalui pengalaman.
3. Memberi motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti akan memberikan tujuan yang dapat menjelaskan ke arah kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok anak didik,
4. Mengikut sertakan murid di dalam setiap aspek kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok anak.
5. Menyadarkan murid bahwa hidup itu dinamis. Oleh karena itu murid harus dihadapkan dengan dunia yang selalu berubah dengan 'kemerdekaan beraktivitas, dengan orientasi kehidupan masa kini.
Hal ini menunjukkan bahwa John Dewey ingin mengubah bentuk pengajaran tradisional. di mana ditandai dengan sifat verbalisme di mana terdapat cara belajar DDCH (duduk, dengar, catat, hafal), murid bersifat reseptif dan pasif saja. Hanya menerima pengetahuan sebanyak-banyaknya dari guru, tanpa melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Guru mendominasi kegiatan belajar. Murid tanpa diberikan kebebasan sarna sekali untuk bersikap dan berbuat. Dalam abad ke-20 ini terjadi perubahan besar mengenai konsepsi pendidikan dan pengajaran. Perubahan tersebut membawa perubahan pula dalam cara mengajar belajar di sekolah. di mana kini berangsur-angsur beralih menuju kearah penyelenggaraan sekolah progresive, sekolah kerja, sekolah pembangunan dan CBSA.
Progresivisme menghendaki pendidikan yang progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan bukanlah hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik saja, melainkan yang terpenting ialah melatih kemampuan berpikir secara ilmiah. Semua itu dilakukan oleh pendidikan agar orang dapat maju atau mengalami progress. Dengan demikian orang akan dapat bertindak dengan intelegen sesuai dengan tuntutan dari lingkungan.
Dari uraian di atas, dapatlah diambil suatu konklusi asas progresivisme dalam belajar bertitik tolak dari asumsi bahwa anak didik bukan manusia kecil, tetapi manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, setiap anak didik berbeda kemampuannya, individu atau anak didik adalah insan yang aktif kreatif dan dinamis dan anak didik punya motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Pandangan Kurikulum Progressivisme
Selain kemajuan atau progres, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Untuk itu filsafat progresivisme menunjukkan dengan konsep dasarnya sejenis kurikulum yang program pengajarannya dapat mempengaruhi anak belajar secara edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolal Tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang baik pula.
Sekolah yang baik itu adalah sekolah yang dapat memberi jaminan para siswanya selama belajar, maksudnya yaitu sekolah harus mampu membantu dan menolong siswanya untuk tumbuh dan berkembang serta memberi keleluasaan tempat untuk para siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya melalui bimbingan guru dan tanggung jawab kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila bersifat fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki keuntungan-keuntungan untuk diperiksa setiap saat.
Sikap progressvisme, memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur.
Pendidikan dilaksanakan di sekolah dengan anggapan bahwa sekolah dipercaya oleh masyarakat untuk membantu perkembangan pribadi anak. Faktor anak merupakan faktor yang cukup urgen (penting), karena sekolah didirikan untuk anak. Karena itu hak pribadi anak perlu diutamakan, bukan diciptakan sekehendak yang mendidiknya. Dengan kata lain anak hendaknya dijadikan sebagai subyek pendidikan bukan sebagai obyek pendidikan.
Untuk memenuhi keutuhan tersebut, maka filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sekolah didirikan karena tidak mempunyai orang tua atau masyarakat untuk mendidik anak. Karena itu kurikulum harus dapat mewadahi aspirasi anak, orang tua serta masyarakat. Maka kurikulum yang edukatif dan eksperimental dapat memenuhi tuntutan itu. Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum.
Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek. Untuk itu ia memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan demi kelestarian hidupnya. Hidupnya bukan hanya untuk kelestarian pertumbuhan saja, akan tetapi juga untuk perkembangan pribadinya. Oleh karena itu manusia harus belajar dari pengalaman.
Pengalaman-pengalaman itu diperoleh sebagai akibat dari belajar. Anak didik yang belajar di sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman dari lingkungan, di sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman itu yang nantinya dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan umum (masyarakat sekitar).
Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian core curriculum mengandung ciri-ciri integrated curriculum, metode yang diutamakan yaitu problem solving.
Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Dengan berlandaskan sekolah sambil berbuat inilah praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun (Iapangan) merupakan kegiatan belajar yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing. Dalam hal ini, filsafat progresivisme ingin membentuk keluaran (out-put) yang dihasilkan dari pendidikan di sekolah yang memiliki keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan di masyarakat luas.
Metode problem solving dan metode proyek telah dirintis oleh John Dewey (1859-1952) dan dikembangkan oleh W.H Kilpatrick. John Dewey telah mengemukakan dan menerapkan metode problem solving kedalam proses pendidikan, melakukan pembaharuan atau inovasi dari bentuk pengajaran tradisional di mana adanya verbalisme pendidikan. Di sini anak didik dituntut untuk dapat memfungsikan akal dan kecerdasannya dengan jalan dihadapkan pada materi-materi pelajaran yang menantang siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa dituntut dapat berpikir ilmiah seperti menganalisa, melakukan hipotesa dan menyimpulkannya dan penekanannya terletak kepada kemampuan intelektualnya. Pengajaran dengan program unit, akan meniadakan batas-batas antara pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain dan akan lebih memupuk semangat demokrasi pendidikan.
W.H Kilpatrick mengatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik didasarkan atas tiga prinsip:
1. Meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang.
2. Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh.
3. Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan sekolah sehingga anak didik dapat berkembang dalam kemampuannya yang aktual untuk aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan, dan dalam hal ini apa saja yang ingin berbuat serta kecakapan efektif untuk mengamalkan secara bijaksana melalui pertimbangan yang matang.
Dari penjelasan yang dikemukakan oleh W.H Kilpatrick tersebut ada beberapa hal yang perlu diungkapkan yaitu: (1) kurikulum harus dapat meningkatkan kualitas hidup anak didik sesuai dengan jenjang pendidikan, (2) kurikulum yang dapat membina dan mengembangkan potensi anak didik, (3) kurikulum yang sanggup mengubah prilaku anak didik menjadi kreatif, adaptif dan kemandirian dan (4) kurikulum bersi­fat fleksibel atau luwes berisi tentang berbagai macam bidang studio.
Melalui proses pendidikan dengan menggunaka kurikulum yang bersifat intergrated kurikulum (masalah-masalah dalam masyarakat disusun terintegrasi) dengan metode pendidikan belajar sambil berbuat (learning by doing) dan metode problem solving (pemecahan masalah) diharapkan anak didik menjadi maju (progress) mempunyai kecakapan praktis dan dapat memecahkan problem sosial sehari-hari dengan baik.

Minggu, 27 April 2008

Karakteristik Guru

Penilaian karakteristik Sosok Guru

Sikap dan Sifat-sifat Guru yang Baik

Adil

seorang guru harus adil, misalnya dalam memperlakukan anak-anak didiknya dengan cara. Ia tidak membedakan anak yang cantik, anak saudaranya sendiri, anak orang berpangkat, atau anak yang menjadi kesayangannya. Perlakuan yang adil itu perlu bagi seorang guru, misalnya dalam hal memberi nilai dan menghukum murid

Memotivasi

Tugas guru dalam proses belajar-mengajar tidak hanya dalam memberikan materi saja pada anak didik, tetapi seorang guru dituntut harus aktif untuk memotivasi murid agar terdorong untuk lebih semangat dalam belajar dan menentukan arah hidup muridnya.

Humoris

Rasa humor dalam ruangan kelas merupakan obat untuk mengurangi kejanuhan dalam belajar. maka dari itu seorang guru juga harus benar-benar mengetahui kondisi dan situasi dalam kelas. Untuk mengurangi rasa kejenuhan dalam belajar yang monoton, seorang guru harus memberikan atau mengekspresikan rasa humor, supaya kondisi belajar-mengajar tetap stabil, siswa tidak merasa bosan dalam mengikuti proses belajar.

Berwibawa

Tanpa adanya kewibawaan pada pendidik, tidak mungkin pendidikan akan masuk dalam hati sanubari seorang murid. Murid-murid hanya akan menuruti kehendak dan perintah gurunya karena takut atau karena paksaan, jadi bukan karena keinsafan atau karena kesadaran didalam dirinya.

Menguasai Materi

Dalam mengajar, seorang guru harus benar-benar menguasai materi yang diajarkan kepada muridnya. Maka dari itu seorang guru harus senantiasa menambah pengetahuannya. Mengajar tidak dapat dipisahkan dari belajar. seorang guru harus profesional dalam mengajar, diantaranya harus objektif, sistematis dan menguasai berbagai konsep dalam memberikan pelajaran.

Berpengetahuan Luas

Selain mempunyai pengetahuan yang dalam tentang materi yang sudah menjadi tugasnya, aka lebih baik lagi jika guru itu mengetahui pula tentang segala sesuatu yang penting-penting, yang ada hubungannya dengan tugasnya di dalam masyarakat. Guru haruslah orang yang mempunyai perhatian intelektual yang luas yang tidak kunjung padam.

Sikap dan Sifat-sifat Guru yang Tidak Mesti Ada

Pemarah

Biasanya guru yang seperti ini sering dijauhi oleh rekan guru yang lain, karena sikapnya yang tidak mencerminkan seorang guru dan tidak bersahabat dengan masyarakat. Anak murid pun enggan diajar oleh guru yang mempunyai karakter tersebut.

Egois

Sering terjadi perselisihan guru dengan anak murid, dikarenakan oleh sikap guru yang tak mau kalah dengan anak murid. Guru yang egois seperti harimau dihadapan anak murid, karena cenderung selalu ingin mengalahkan teori-teori yang dia anggap berbeda dengannya. Guru seperti ini menurut saya tidak tahu psikologi perkembangan anak murid.

Tidak menguasai materi

Anak murid akan mendapatkan pengetahuan yang aktual, jika gurunya menguasai materi dengan berbagai konsep. Akan tetapi, ketika seorang murid harus dihadapkan dengan guru yang tidak menguasai materi, anak murid akan mengacuhkan guru tersebut, karena mereka akan tertinggal materi yang mereka pelajari. Jadi, kewibawaan seorang guru juga bisa tercermin dari sejauh mana guru tersebut menguasai materi yang akan disampaikan pada anak muridnya.

Hiperhumoris

Karakter guru ini sebenarnya berpengetahuan sempit, tetapi ia tutupi dengan sikap yang humor dikelas, terkadang humornya berlebihan dengan yang diharapkan oleh muridnya. Jadi, anak murid akan merasa bosan dengan humornya yang berlebihan dengan kata lain tidak bisa serius dalam mengajar dan sebaliknya.

Pemalas

Pemalas dalam artian bahwa seorang guru ketika menjelaskan hanya duduk terpaku dalam empuknya sandaran bokong alias bangku. Guru seperti ini tidak memberikan sikap yang bergairah dalam mengajar. Jadi suasana dalam ruang belajar-mengajarpun sangat ogah-ogahan. Ketika hal itu sudah terjadi, maka suasana tidak kondusif itupun akan menghasilkan rendahnya minat belajar.

Jumat, 28 Maret 2008

Berpikir Kreatif

Ketika saya dihadapkan pada permasalahan mengenai remaja saya, pertama yang timbul daalam benak saya adalah "melakukan sesuatu" yang bisa membuat saya cukup puas dengan sesuatu tersebut. ternyata timbullah suatu pikiran untuk berpikir kreatif dalam berbagai masalah. kata "Puisi" adalah kata yang langsung timbul secara intuisi,. dari sinilah kretivitas saya seorang remaja dimulai. puisi bibawah ini tercipta karena sikap protes saya terhadap polemik kehidupan yang saya jalani.

Rindu

Lamaq kutunggu tak kunjung tiba
semerbak harum angin ketenangan
tuk mengusir bau ketegangan
lama kurindukan keceriaan fajar
agar terhindar dari belenggu
angin senja yang tlah lam memasung hatiku
terasa jera bila kurasa
ku slalu meratap dalam kesedihan
tak satupu merasa dalam perihku
sungguh ingi ku terhindar dalam belenggu
ku mencari ke utara....
yang ku dapat hanya amarah
ku bertolak ke selatan.... hanya ada keputusasaan
wahai....fajar....
berilah aku kekuatan
untuk berdiri tegak dalam kesengsaraan batinku
ku tak ingin terseret ke utara
terombang-ambing ke selatan
lebih baik ku jatuh kelembah tangisan
hatiku hanya bisa menangis
terpaku dalam pasunganku
seolah rangkaian kata hanya membuatku bisu
lisanpun redup tertutup air mata
.......................................
ku rindi akan kebebasan hatiku
namun,.....semua itu semu
hanya angan harapan yang setia
menemani ratap air mataku
......................................
tak ada kepastian
semua tak berakhir

Didalam kretifitas berpuisi, saya merasa jiwa saya selalu ikut dalam puisi tersebut, begitu juga ketika saya membaca karya puisi sendiri maupun karya puisi orang lain. berikut saya tampilkan sebuah puisi yang terinspirasi dari Perang Dunia II. ketika saya membaca sebuah novel dari Elizabeth Hawkins, "Sea of Peril" mengenai keadaan mencekap ketika PD II, saya langsung terdorong untuk menggoreskan pena saya diatas sehelai kertas, dan menciptakan sebuah puisi yang berjudul sama dengan judul novel tersebut.

Lautan Petaka

Terasa bodoh jika berharap
jika angin beringas menerpa kepastian layar
logam besi pahlawan tlah membisu dalam kegelapan
rentan oleh sekapan awan hitam
bersemayam diatas Bizmark Nazi
jiwa terhitung diatas kayu ouval putih
dihiasi dentuman yang bergemuruh cahaya
deru mesin berkedip diatas petir
memuntahkan petaka dalam kegelapan
gulungan ombak menghempas samudera
lautan petaka.........

Kamis, 20 Maret 2008

MASA REMAJA

Masa Awal Remaja

Setelah lulus sekolah dasar (SD) hatiku bergegas untuk masuk PerguruanIislam di Madraasah Tsanawiyah (MTs).disini aku mengenal bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran agama lainnya yang kuanggap bisa berguna bagi masa depan. Waktu itu genap usiaku 12 tahun, adalah masa seorang anak beralih ke usia remaja (pubertas), dan tubuhku mulai sedikit berubah, suarakupun mulai membesar.

Ternyata benar apa yang dikatakan Charlotte Buhler, “ masa puber sebagai masa fase negatif, bahwa setiap individu mengambil sikap “anti” terhadap kehidupan atau kelihatannya kehilangan sifat-sifat baik yang sebelumnya sudah berkembang”. Saat masa ini aku seperti mencari jatidiriku sebagai manusia baru (pubertas) dan akupun jarang berada dirumah, karena pergaulanku mengalami sedikit perubahan dan mulai tertarik pada lawan jenis.

Masa Remaja

Dari MTs aku beralih ke sekolah umum (SMA). Sekolah di SMA, aku banyak menemukan hal baru dalam pribadiku. Matangnya emosiku mendorongku untuk bersikap lebih dewasa. Seperti remaja pada umumnya yang identik dengan badai dan tekanan, terutama dalam hubungan dengan lawan jenis, akupun mengenal cinta. Disini aku banyak mengenal sifat-sifat remaja yang variatif dan berbagai tekanan emosi yang tak stabil yang menyeretku untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah. Tak seperti sebelumnya yang hanya bereaksi secara emosional, kini aku mulai berpikir tentang masa depan. Berbeda dengan remaja lain yang hanyut dalam pergaulan negatif, aku terus berusaha untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagiku maupun untuk orang lain. Walaupun aku harus bergaul dengan brendel sekalipun, yang hidup bebas.

Masa Akhir Remaja

Seiring jalannya waktu, ternyata aku harus terusir oleh waktu. Merantau ke kota Ciputat untuk melanjutkan studiku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, walaupun sebelumnya aku mengharap kota Bandung jadi tempat studiku. Disini kubuka lembaran awal masa dewasaku untuk menyongsong masa depan. Di awal kedewasaanku ini, emosiku mulai stabil dalam memecahkan suatu perkara, aku terus berjuang untuk tetap menyeimbangkan kehidipanku. Berbagai hal baru membanjiri hidupku, dan tak sedikit pula tekanan yang silih berganti untuk menghambat lajuku. Aku harus tetap tegar dalam menjalani hidup.

Seberkas Coretan

“Si Manja,” panggilan itu kerap kusandang dari orang-orang disekitar telingaku. Mereka anggap aku seorang raja ditengah keluargaku, karena apa yang kupinta tak pernah di sangkal, tersentuh orang lainpun bapakku dengan buas menerkamnya. Itulah sosok “Si Manja” yang menjadi benalu dihidupku selama 14 tahun. Kesematawayanganku merupakan pemicu diusungnya aku sebagai raja, tapi setelah saudaraku lahir dibumi, tahta kerajaanku harus terbagi dua, dan aku dilepas untuk menjalani jalan terjal remaja. Disini kutemukan sepercik kemandirian. Aku mulai dihadapkan pada pergaulan yang terbentang luas, seakan-akan “Si Manja” lenyap ditelan waktu. Aku mulai hidup lepas yang penuh pergolakan. Kini aku telah dewasa, harus berani tanggung jawab.