Konstruktivisme melibatkan lima fasa, iaitu:
1. Guru meneroka pengetahuan sedia ada murid pada permulaan sesuatu pelajaran melalui soal jawab atau ujian.
2. Guru menguji idea atau pendirian murid melalui aktiviti yang mencabar idea atau pendiriannya.
3. Guru membimbing murid menstruktur semula idea.
4. Guru memberi peluang kepada murid mengaplikasikan idea baru yang telah diperoleh untuk menguji kesahihannya.
5. Guru membimbing murid membuat refleksi dan perbandingan idea lama dengan idea yang baru diperoleh.
Konstruktivisme dan Dampaknya terhadap Pendidikan
Oleh Paul Suparno
SERING terjadi seorang guru sudah berulang-ulang menjelaskan kepada
muridnya suatu bahan pelajaran, namun murid tersebut salah menangkap.
Fenomena ini menguatkan klaim para penganut filsafat konstruktivisme
yang menekankan bahwa murid telah mengkonstruksi (membentuk) sendiri
pengetahuan mereka.
Para penganut konstruktivisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah
merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan
bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari,
tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek,
pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang
sudah ada disana dan orang tinggal mengambilnya, tetapi merupakan
suatu bentukan terus menerus dari seseorang yang setiap kali
mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru.
Kaum konstruktivis menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu
dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya
melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan,
orang dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati air,
bermain dengan air, mengoperasikan air, orang membentuk pengetahuan
akan air.
Bagi kaum ini, pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah tertentu,
tetapi merupakan suatu proses menjadi. Pengetahuan orang akan "anjing"
misalnya, mulai dibentuk sejak seorang anak berinteraksi dengan
anjing. Pengetahuan ini belum lengkap. Dengan semakin banyak
berinteraksi dengan macam-macam anjing lain, pengertian anak itu
semakin dikembangkan dan menjadi lebih rinci.
Menurut von Glaserfeld, tokoh filsafat konstruktivisme di AS,
pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran
seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang
belum punya pengetahuan (murid). Bahkan bila guru bermaksud untuk
mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada murid, pemindahan itu
harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh murid sendiri dengan
pengalaman mereka.
Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk
proses pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat
dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan
untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain.
Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat
penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan
pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting
untuk dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari
pengalaman-pengalaman khusus lalu dapat melihat kesamaan dan
perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu
pengetahuan. Karena seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu
daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari pengetahuan yang
kita konstruksikan.
Realitas dan kebenaran
Bagi kaum konstruktivis, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis.
Malah secara ekstrem mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti
realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh
disebut suatu realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu
objek. Bettencourt menyatakan memang konstruktivisme tidak bertujuan
mengerti realitas, tetapi lebih mau menekankan bagaimana kita tahu
atau menjadi tahu. Bagi konstruktivisme, realitas hanya ada sejauh
berhubungan dengan pengamat.
Lalu bagaimana dengan soal kebenaran? Bagaimana kita tahu bahwa
pengetahuan yang kita bentuk itu benar? Konstruktivisme meletakkan
kebenaran dari pengetahuan dalam viabilitasnya, yaitu berlakunya
konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Apakah pengetahuan itu
dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam persoalan yang berkaitan.
Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas
kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan ada tarafnya, mulai
dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum.
Yang membatasi konstruksi pengetahuan
Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses
konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang lama, (2) domain
pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Proses dan
hasil konstruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas
konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena
yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan
pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi
pengetahuan kita pula. Dalam bidang pengetahuan alam, misalnya, sangat
jelas peranan pengalaman dan percobaan-percobaan dalam perkembangan
hukum, teori dan konsep-konsep ilmu tersebut. Konsep, gagasan,
gambaran, teori dan lain-lain saling berhubungan satu dengan yang lain
membentuk struktur kognitif seseorang. Oleh Toulmin struktur itu
disebut ekologi konseptual. Orang cenderung untuk menjaga stabilitas
ekologi tersebut dengan setiap kali mencocokkan pengetahuan yang baru
dengan ekologi konseptual di atas. Inilah yang juga dapat menghambat
perkembangan pengetahuan.
Beberapa macam konstruktivisme
Von Glaserfeld membedakan tiga level konstruktivisme dalam kaitan
hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni konstruktivisme radikal,
realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa.
Konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan
dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Bagi kaum radikal,
pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu obyek
yang dibentuk oleh seseorang. Menurut aliran ini kita hanya tahu apa
yang dikonstruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi
kenyataan. Realisme hipotesis memandang pengetahuan sebagai suatu
hypotesis dari suatu struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju
pengetahuan yang sejati yang dekat dengan realitas. Sedangkan
konstruktivisme yang biasa, masih melihat pengetahuan sebagai suatu
gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek.
Dari segi subyek yang membetuk pengetahuan, dapat dibedakan antara
konstruktivisme psikologis personal, sosiokulturalisme, dan
konstruktivisme sosiologis. Yang personal dengan tokohnya Piaget,
menekankan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh seseorang secara
pribadi dalam berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang
dihadapinya. Orang itu sendiri yang membentuk pengetahuan.
Sosiokulturalisme yang ditokohi oleh Vygotsky, menjelaskan bahwa
pengetahuan dibentuk baik secara pribadi tetapi juga oleh interaksi
sosial dan kultural dengan orang-orang yang lebih tahu tentang hal itu
dan lingkungan yang mendukung. Dengan dimasukkannya seseorang dalam
suatu masyarakat ilmiah dan kultur yang sudah punya gagasan tertentu,
maka orang itu membentuk pengetahuannya. Sedangkan konstruktivisme
sosiologis menyatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat
sosial. Unsur masyarakatlah yang penting, sedang unsur pribadi tidak
diperhatikan.
Dampaknya terhadap pendidikan
Dalam pengertian konstruktivisme, belajar adalah suatu proses
pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dibuat sendiri oleh
pelajar atau orang yang mau mengerti. Orang itulah yang aktif
berpikir, membuat konsep, dan mengambil makna. Guru atau pendidik di
sini hanyalah membantu agar proses konstruksi itu berjalan. Guru bukan
mentransfer pengetahuan sebagai yang sudah tahu, tetapi membantu agar
anak didik membentuk pengetahuannya.
Dalam belajar sistem ini, peran murid diutamakan dan keaktivan murid
untuk membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Semua peralatan, bahan,
lingkungan, dan fasilitas disediakan untuk membantu pembentukan itu.
Murid diberi kesempatan mengungkapkan pemikirannya akan suatu masalah,
tanpa dihambat. Dengan dibiasakan berpikir sendiri dan
mempertanggungjawabkan pemikirannya, murid akan terlatih untuk menjadi
pribadi yang sungguh mengerti, yang kritis, kreatif, dan rational.
Dalam pengertian konstruktivisme, murid tidak dianggap sebagai suatu
tabula rasa yang kosong, yang tidak mengerti apa-apa sebelumnya. Murid
dipahami sebagai subyek yang sudah membawa "pengertian awal" akan
sesuatu sebelum mereka mulai belajar secara formal. Bahkan seorang
murid klas 1 SD pun sudah membawa pengetahuan awal mengenai
macam-macam hal yang dalam tarafnya berlaku untuk memecahkan
persoalan. Pengetahuan awal tersebut, meski kadang sangat naif atau
tidak cocok dengan pengertian para ahli, perlu diterima dan nanti
dibimbing untuk semakin sesuai dengan pemikiran para ahli. Pemikiran
mereka itu meski naif, bukanlah salah; tetapi terbatas berlakunya.
Pihak guru dituntut pengetahuan yang luas dan mendalam, agar dapat
memahami jalan pikiran anak. Guru menantang, mempertajam, dan
menunjukkan apakah jalan pikiran murid benar. Guru tidak mengklaim
bahwa satu-satunya jalan yang benar adalah yang sama dengannya.
Kesalahan pemikiran anak diterima sebagai landasan kemajuan. Bukankah
perkembangan semua ilmu mulai dari kesalahan, demikian tandas para
konstruktivis.
Saya sendiri lebih cenderung bahwa pengetahuan itu dibentuk baik
secara pribadi dan sosial, karena setiap situasi dan lingkungan yang
berbeda dapat mempengaruhi pembentukan pengetahuan seseorang. Dalam
kerangka ini, kegiatan belajar bersama dengan teman, dengan lingkungan
ilmiah dan pusat-pusat ilmiah sangat berperan dan perlu dikembangkan.
* Dr Paul Suparno, M.S.T, dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta,
doktor pendidikan sains dari Boston University, Amerika Serikat.